
Eco Branding: Membangun Citra Bisnis lewat Kampanye Pelestarian Alam
Konsumen masa kini tidak hanya peduli pada kualitas produk. Mereka juga ingin tahu apakah perusahaan yang mereka dukung peduli terhadap lingkungan. Oleh karena itu, citra bisnis kini ditentukan oleh komitmen terhadap keberlanjutan, bukan hanya harga atau desain.
Akibatnya, eco branding menjadi strategi wajib, bukan opsional. Perusahaan yang tidak mengadopsi nilai hijau akan ketinggalan dari kompetitor. Selain itu, generasi Z dan milenial lebih memilih brand yang transparan dan memiliki dampak positif.
Menurut Nielsen Global Corporate Sustainability Report, 73% konsumen global bersedia membayar lebih untuk produk dari perusahaan yang peduli lingkungan. Di Indonesia, angka ini mencapai 78% (Katadata Insight Center, 2024). Artinya, pasar sudah siap — yang belum siap adalah pelaku usaha yang masih menganggap ramah lingkungan sebagai beban.
Untuk itu, artikel ini akan membahas secara tuntas bagaimana Anda bisa membangun citra bisnis melalui kampanye pelestarian alam. Kita mulai dari definisi, contoh nyata, strategi untuk UMKM, cara ukur dampak, studi kasus, hingga tren 2025.
1. Apa Itu Eco Branding dan Mengapa Harus Anda Terapkan?
Eco branding bukan sekadar ganti kemasan jadi cokelat atau tulis “ramah lingkungan” di bio. Ini adalah strategi menyeluruh yang menempatkan keberlanjutan sebagai inti identitas merek.
Anda harus menunjukkan aksi nyata, bukan klaim kosong. Misalnya:
- Anda kurangi penggunaan plastik sekali pakai
- Anda tanam pohon setiap kali ada penjualan
- Anda bekerja sama dengan komunitas konservasi
- Anda laporkan jejak karbon secara berkala
Tentu saja, konsumen bisa membedakan mana brand yang serius dan mana yang hanya cari citra. Greenwashing sudah tidak laku lagi. Sebenarnya, banyak UMKM yang ragu memulai karena takut modal besar. Padahal, eco branding bisa dimulai dari hal kecil. Bahkan dari rumah.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lebih dari 1.200 UMKM telah mendaftar dalam program UMKM Hijau sejak 2022. Program ini mendorong pelaku usaha untuk mengintegrasikan prinsip ekonomi sirkular ke dalam operasional mereka. Dengan demikian, eco branding bukan lagi pilihan. Ini adalah strategi bertahan di pasar modern. Terlebih lagi, brand yang autentik akan lebih cepat dipercaya dan dibagikan.
Sebaliknya, perusahaan yang tidak adaptif akan kehilangan pelanggan ke generasi muda yang peduli bumi.

2. Contoh Kampanye Pelestarian Alam yang Bisa Anda Tiru
Berikut tiga jenis kampanye yang terbukti efektif, bahkan untuk UMKM skala rumahan.
a. 1 Produk = 1 Pohon Ditanam
Beberapa brand seperti Eco Foresta dan GreenLife.id menerapkan skema ini. Setiap kali konsumen membeli, mereka langsung tanam satu pohon di kawasan kritis.
Manfaatnya sangat nyata:
- Konsumen merasa ikut berkontribusi
- Brand image jadi positif
- Konten mudah dibuat untuk media sosial
Anda bisa mulai dari kerja sama dengan petani lokal atau LSM. Bahkan, Anda bisa unggah video penanaman langsung dengan nama pembeli. Sebaliknya, jangan lakukan kampanye ini tanpa dokumentasi. Konsumen ingin lihat bukti nyata. Selain itu, Anda bisa tambahkan fitur pelacakan: “Lihat pohonmu tumbuh di sini.”
b. Program Kembali Kemasan, Dapat Diskon
Perusahaan skincare Natura Indonesia meluncurkan program di mana konsumen bisa mengembalikan botol kosong dan mendapat diskon 10–15%.
Anda bisa tiru dengan sistem sederhana:
- “Bawa botol bekas, dapatkan diskon”
- “Kami daur ulang, kamu dapat hadiah”
Akhirnya, pelanggan jadi loyal karena merasa bagian dari gerakan. Terlebih lagi, program ini mengurangi limbah plastik dan menunjukkan komitmen nyata. Bahkan, Anda bisa buat kontes: “Siapa yang kumpulkan kemasan terbanyak, dapat hadiah spesial.”
c. Kolaborasi dengan Komunitas Konservasi
Beberapa brand lokal bermitra dengan WALHI, YKAN, atau Forum Konservasi Leuser untuk mendukung perlindungan satwa. Sebagai contoh, brand kopi dari Toraja menyisihkan 5% dari setiap penjualan untuk konservasi burung maleo. Mereka juga mencantumkan kode pelacakan donasi di kemasan. Padahal, mereka awalnya hanya UMKM rumahan. Namun, karena kampanye ini transparan dan konsisten, mereka akhirnya diliput media nasional. Tidak hanya itu, mereka juga libatkan pembeli dalam laporan donasi bulanan. Dengan demikian, konsumen merasa jadi bagian dari solusi.

3. Strategi Eco Branding untuk UMKM
Anda tidak perlu modal besar untuk memulai. Cukup ikuti empat langkah ini.
Langkah 1: Pilih Satu Isu Lingkungan
Fokus pada satu isu yang relevan:
- Jual makanan? Gunakan kemasan komposabel
- Jual fashion? Gunakan bahan organik
- Jual produk alam? Dukung konservasi habitat
Jangan sebar energi. Konsentrasi pada satu nilai hijau. Sebenarnya, semakin spesifik, semakin kuat citra Anda.
Langkah 2: Jalankan Kampanye Nyata
Jangan hanya tulis “ramah lingkungan”. Tunjukkan aksi:
- “Setiap pembelian, kami tanam 1 pohon”
- “Kami gunakan daun pisang, bukan plastik”
- “Tim kami bersih-bersih pantai tiap bulan”
Anda harus lakukan ini secara konsisten, bukan sekali waktu. Karena itu, rencanakan kampanye jangka panjang, bukan sekadar promosi musiman.
Langkah 3: Dokumentasikan Semua Aksi
Gunakan media sosial untuk:
- Unggah video penanaman
- Bagikan foto sebelum-sesudah bersih-bersih
- Buat infografik: “3 ton sampah terangkut bulan ini”
Tentu saja, konten seperti ini mudah viral di TikTok dan Instagram Reels. Bahkan, Anda bisa ajak pelanggan untuk unggah konten juga.Akhirnya, Anda dapat promosi gratis dari konsumen setia.
Langkah 4: Libatkan Konsumen
Ajak pelanggan jadi bagian:
- “Tag kami saat kamu daur ulang kemasan kami”
- “Beri masukan untuk kemasan yang lebih hijau”
- “Gabung komunitas hijau kami”
Akibatnya, mereka tidak hanya membeli — mereka merasa jadi bagian dari misi Anda. Sebaliknya, brand yang tidak libatkan konsumen akan sulit membangun loyalitas.

4. Cara Mengukur Dampak Kampanye Anda
Agar tidak dianggap pencitraan, Anda harus ukur dampaknya.
Pengurangan emisi karbon | Hitung jejak karbon operasional | Kalkulator KLHK |
Jumlah pohon ditanam | Catat lokasi, jenis, jumlah | Foto + laporan mitra |
Partisipasi konsumen | Hitung UGC (user-generated content) | Hashtag tracking |
Pertumbuhan kepercayaan | Survei pelanggan, testimoni | Google Form |
Peningkatan penjualan | Bandingkan sebelum & sesudah kampanye | Data marketplace |
Anda bisa buat laporan sederhana setiap 6 bulan. Kemudian, bagikan di website atau media sosial. Dengan demikian, Anda tunjukkan bahwa kampanye ini bukan sekadar pencitraan, tapi aksi nyata yang terukur. Terlebih lagi, laporan ini bisa jadi bahan promosi: “Lihat, ini dampak pembelianmu.”
5. Studi Kasus: Merek Lokal yang Sukses
EcoSoul (Bandung)
- Produk: Makanan organik kemasan
- Kampanye: “Zero Waste Packaging Challenge”
- Aksi: Gunakan kemasan daun pisang
- Hasil:
- Follower naik 200% dalam 6 bulan
- Dikutip Kemenparekraf sebagai UMKM Hijau
- Omzet naik 80% karena viral di TikTok
Tidak hanya itu, mereka ajak pelanggan unggah konten — dan itu jadi bahan promosi gratis.
Sebaliknya, brand yang tidak dokumentasikan aksi akan sulit dipercaya.
Bamboo Republic (Yogyakarta)
- Produk: Aksesori dari bambu
- Kampanye: “1 Aksesori = 1 Bibit Bambu Ditanam”
- Aksi: Tanam di lereng Merapi bersama warga
- Hasil:
- Ekspor ke Jepang dan Belanda
- Brand image kuat sebagai brand lokal berkelanjutan
Padahal, mereka mulai dari garasi. Namun, karena konsisten, mereka dipercaya. Kedua contoh ini membuktikan: eco branding yang autentik = keuntungan nyata.

6. Tren Eco Branding di 2025
Beberapa tren yang akan mendominasi:
- Blockchain untuk transparansi: Konsumen bisa lacak asal bahan baku
- Ekolabel lokal: Sertifikasi hijau dari pemerintah daerah
- Kolaborasi UMKM hijau: Gerakan bersama di satu daerah
- Digital storytelling: Konten video pendek tentang proses ramah lingkungan
Kementerian Perdagangan sedang menggodok program “Indonesia Green Brand” untuk bantu UMKM bersaing di pasar ekspor.Dengan demikian, masa depan bisnis bukan hanya tentang profit, tapi juga planet dan people.
Sebenarnya, ini bukan pilihan lagi. Ini keharusan.

Penutup: Dari Aksi Kecil ke Dampak Besar
Eco branding bukan sekadar strategi pemasaran. Ini adalah komitmen terhadap bumi. Di tengah krisis iklim, brand yang peduli akan selalu unggul.
Seperti kata Dyah Roro Esti, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI:
“Bisnis hijau bukan beban, tapi peluang untuk tumbuh sekaligus menyelamatkan bumi.”
Mulai dari hal kecil. Libatkan komunitas. Dokumentasikan aksi. Dan biarkan konsumen melihat bahwa bisnis Anda benar-benar berkontribusi. Akhirnya, dengan konsistensi, Anda tidak hanya membangun citra — Anda membangun warisan.